Diantara novel pembangun jiwa terbitan Republika yang paling mengobral ungkapan puitis dan deskripsi ruang yang detil adalah Matahari di atas Gilli karya Lintang Sugianto. Kadangkala membacanya serasa menikmati antologi puisi yang diuntai lewat dialog antar lakonnya. Maklum, penulisnya seorang penyair dan lulusan arsitektur landscape.

Sebelum menulis novel, Lintang lebih dikenal sebagai seorang penyair. Kumpulan puisinya antara lain: Ilahi (1998), Pelepah (2000), Antologi Puisi Namaku Perempuan (2006), Kusampaikan (2006), dan Narasi Lukisan Anak-anak Aceh, Menyapa Pagi yang Baru (2006).

Perempuan Perkasa
Tak selamanya perkasa bermakna maskulin, berotot dan konotasi yang mengarah pada pria kekar bertubuh tinggi besar. Kalau begitu, sungguh tak adil jika menafikan karakter ini dari seorang makhluk perempuan.
Melalui tokoh utama “Suhada”, Lintang Sugianto seolah-olah ingin menunjukkan pawai kesetaraan gender juga berlaku pada keanekaragaman kata-kata. Sebaliknya pula feminimitas tidak melulu milik perempuan.
Menampilkan karakter perkasa tokoh “Suhada” dimulai ketika ia kecil dan beranjak dewasa tiba-tiba tanpa tahu siapakah ibunya, dimanakah dilahirkannya. Beruntung, Suhada diasuh Mamak, perempuan tua yang bagaikan dewi untuknya. Sedikitpun ia tak berpamrih untuk terus menuangkan cairan kasih sayangnya ke mulut Suhada.
Suhada kecil hanya berpikir mamaknya adalah buminya, rumahnya, tempat ia berteduh saat hujan deras, dan goncangan gempa sehebat apapun adalah aman baginya bersama mamak. Maka ia tak berani jauh-jauh dari mamaknya.
Entah kepada siapakah ia harus menggugat saat ia menyadari bahwa mamak bukanlah ibu kandungnya.

“Mengapa tak Kau berikan perempuan ini saja sebagai ibuku, Tuhan ?” jerit hatinya. (hal. 32)
Malang, kehidupan mereka berdua jauh dari nyaman, apalagi sejahtera. Masa sekolah Suhada dilewatinya dengan memeras keringatnya sebagai seorang pembantu. Kematian mamak membuatnya makin jauh telanjang dan tak terlindungi. Sejak itu ia berpindah dari satu keluarga ke keluarga lain demi mendapatkan secuil imbalan agar dapat tetap meneruskan sekolah.
Mujur, sebuah keluarga ningrat memberikan ruang yang lega buatnya untuk terus mengecap bangku sekolah. Dan disinilah ia dipertemukan dengan lintang kejora hatinya, Suamar. Disini pula ia melamar Suhada untuk menjadi istrinya. Selesaikah rangkaian kemalangannya setelah bersuamikan Suamar ? Sesungguhnya tidak. Namun ia telah menjadi perkasa berkat tempaan hidupnya yang menderita, yang kelak keperkasaanya itu mampu merubah bekunya alam, derasnya ombak dan menjadi matahari di atas Gilli.

Bukan Romantisme Remaja
Indahnya alam serta eloknya panorama pantai Gilli dilukiskan oleh Lintang secara detil bak sebuah presentasi tiga dimensi. Ditambah rumbai-rumbai kiasan cinta Suhada-Suamar membangun suasana lanskap di hati pembaca. Kadang melengkung, kadang melebar sesuai panas dingin kisah cinta dua suami istri ini.
Bukan hal mudah untuk menghadirkan efek romantisme percintaan dua insan yang telah menikah. Trade marknya romantisme milik pasangan muda-mudi, perjaka-gadis, cowok-cewek. Tapi Lintang secara lihai merangkainya tanpa bosan dalam dialog-dialog panjang kedua pasangan ini, yang justru barangkali membikin pembaca lambat laun bosan. Novel ini memang bukan sebangsa buku cerita insidensial yang cepat bergerak.
Pada masyarakat Gilli, Suhada menumpahkan segala kelu hatinya menyaksikan tanah air suaminya itu penuh dengan mayat berjalan dalam artian ekstrim. Rakyat Gilli buta huruf, serba ketidaktahuan, takut pada perubahan baru, gagap warta, xenophobia dan Indonesianisme yang masih perlu dipertanyakan. Suhada mengajak anak-anak kembali belajar. Suhada membuka homeschooling di pinggir pantai, di tempat anak-anak sering bermain, di warung.
Lantas apakah mulus begitu saja ? Tentu tidak. Warga Gilli takut pada hal-hal baru dari orang asing. Mereka gigih menolak Suhada hingga Suamarpun merasa perlu menghawatirkan nasib istri tercintanya itu. Maka muncullah tokoh Pak Lurah, Pak Karta, Buk No dan tokoh-tokoh lain yang memainkan peran supporter. Namun tetap saja Suhada tampil sebagai single fighter.
Peran oposisi justru dimainkan tokoh Bu Lurah. Sikap sinis egosentrisnya timbul tatkala ia merasa dinomerduakan. Semacam ketakutan pada posisi Suhada yang makin on top di tengah warga Gilli.
Akhirnya Suhada sadar. Untuk sebuah perubahan ia harus merubah dirinya dulu. Bukan lagi memaksakan perubahan. Suingguh cerdik, persis para sunan di daratan jawa yang membawa dakwah kepada masyarkat lewat gamelan, wayang, budaya sekatenan, grebeg suro dan membumi bersama warga.
Ia mulai memakai sarong –sarung perempuan- setinggi dada. Berkebaya, dan memasang binggel –gelang kaki emas- di kakinya. Memakai kerudung dan cella’ – penghitam garis kelopak mata-. Bercengkerama bersama ibu-ibu, juga mulai memberanikan untuk meminum jamu dari cacing laut yang dikeringkan, seperti layaknya perempuan lain.

Bahwa pada ke dalaman tiap-tiap orang, memiliki pola pikir, keyakinan, bahkan budaya, juga tradisi yang tak ia kenal sebelumnya. Dan tanpa ragu-ragu ia pun menyelinap pada kedalamannya. Meskipun, ia tampak terapit di dalam ketandusan pola pikir mereka. (hal. 184)

Namun sepertinya pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian” tak berlaku bagi Lintang. Suhada kecil yang telah melewati penderitannya hingga jerih payahnya membangun kesadaran ke-indonesiaan para kanak-kanak akhirnya mati. Suamar suaminyapun tak percaya. Suhada masih tetap hidup dalam saraf halusinasinya.

Ia mencibir kekuasaan maut itu, dengan menunjukkan bahwa ia hidup berbahagia bersama Suhada di sebuah dunia romantik ciptaannya. Dan tak satupun makhluk, ia izinkan untuk masuk, apalagi mengusiknya. (hal. 407)

Ya, Suhada syahid dalam proses kelahiran Sabam, anak pertamanya. Jihadnya melawan rahwana kebodohan dan ketidaktahuan masyarakat Gilli belum menghasilkan ghanimah hingga dapat ia saksikan bersama anak dan suaminya. Sekali lagi kekuatan bahasa syair Lintang mampu menggambarkan end of life tokoh Suhada lebih dari sekedar memejamkan mata dan menghembuskan napas terakhir secara jasmaniah. Bahkan saking halusnya, pembaca akan tertipu seolah-olah Suhada masih hidup sampai halaman terakhir. Sama tertipunya dengan Suamar dan Sabam.
Gelora hidup dan cita-cita Suhada seakan belumlah mati untuk Suamar, ia tetap membelainya, membawakannya obat dari angan-angannya sekaligus menegaskan bahwa keperkasaan lelaki itu tak sebanding dengan keteguhan jiwanya menghadapi kematian energi cinta. Mengingatkan pembaca pada lakon yang diperankan Tom Cruise dalam Vanilla Sky.
Atas nama kehilangan spirit cinta tersebut, selanjutnya Suamar meninggalkan dunia bersama roh penasarannya terhadap Suhada dan roh penasaran di hati pembaca. Bad ending yang mengalami ketidak wajaran alur. Seperti seorang pesakitan yang sengaja dihabisi. Sepintas agak mirip ending Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya Buya Hamka.
Sayang, novel ini kurang dilengkapi paparan religiusitas mendalam masyarakat Gilli, terlebih –dalam dunia nyata- wilayah Madura terkenal dengan masyarakat ngaji dan lebih memilih surau daripada sekolah. Apakah antipati terhadap pendidikan yang tampil mewakili kondisi warga Gilli dalam novel ini disebabkan oleh sentimen agama ? ataukah terdapat sentimen lain ? belum terurai jelas. Setidaknya dengan memutuskan bahwa kepergian para guru dari Gilli sebagai tunas ketidakpercayaan mereka terhadap pendidikan, Lintang telah membuat gradasi antara kedua polemik ini.
Namun, secara keseluruhan novel ini sangat apik bercerita sambil berpuisi atau berpuisi sambil bercerita. Para penikmat sastra akan memperoleh pengalaman wisata pulau indah dan wisata psikologi yang mengaduk emosi sekaligus.

Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook